TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA

Inilah Kami

Pembelajaran bahasa Indonesia memiliki arti penting baik secara akademis maupun politis. Namun, dari masa ke masa entah disadari atau tidak, banyak pihak yang telah memarjinalkan pembelajaran BI pada posisi yang "hanya disentuh" jika diperlukan.

Selasa, 13 September 2011

MEREKA KINI

Masih terngiang ! Masih terbayang ! Sambutan hembusan angin sejuk menjabat ramah wajah-wajah asing yang datang dari seantero pelosok negeri dua tahun lalu. Wajah-wajah asing dengan mata-mata asing yang haus persaudaraan segera bertaut dalam suasana matrikulasi yang akrab. Dua puluh enam pencari ilmu, menyatu dalam satu misi : menjadi pendidik yang mumpuni.
Kini, mereka telah mencapai misinya. Satu per satu meninggalkan hangatnya tanah parahayangan. Kembali, dengan segudang bekal dan keinginan. Barangkali, dengan blog sederhana ini, silaturahmi akan senantiasa terjalin.

MENCIPTAKAN UJIAN SEBAGAI PEMBANGKIT MOTIVASI INTRINSIK

A. Pendahuluan
Ujian Nasional yang disingkat menjadi UN atau masyarakat akrab memanggilnya dengan UAN, sejak dicetuskannya sekitar sepuluh tahun lalu telah menjadi magnet kuat yang mampu menarik berbagai pihak baik internal pendidikan maupun dari luar pendidikan untuk menyikapinya. Tentu saja bagi kalangan internal pendidikan, sikap yang diambil lebih intens dan terarah. Sedangkan bagi dunia di luar pendidikan, sikap yang diambil lebih cenderung pada sikap evaluatif baik yang mengarah positif maupun negatif.
Begitu kuatnya daya tarik UN bagi dunia pendidikan menjadikan segala proses pendidikan seolah menuju kepadanya. Keberhasilan sebuah lembaga pendidikan di tingkat terrendah yaitu sekolah sampai dengan tingkat tertinggi yaitu nasional seakan-akan diukur dengan hasil UN, baik dari segi kualitas (peringkat nilai UN) maupun kuantitas (persentase kelulusan). Semakin rendah nilai dan persentase kelulusan suatu sekolah menjadi dasar penilaian kualitas lembaga tersebut. Demikian juga yang terjadi di tingkat daerah, wilayah sampai dengan nasional.
Secara kasat mata kita dapat menyaksikan begitu kuatnya magnet UN itu pada tingkat sekolah. Sejak awal siswa menginjak di kelas terakhir, gaung UN mulai terdengar. Bahkan kini, dengan konsep baru, sayup-sayup UN mulai dihembuskan sejak siswa duduk di dua atau tiga kelas terakhir. Gaung UN semakin kuat seiring waktu yang kian mendekat pada hari pelaksanaan. Jika dianalogikan, menjelang detik-detik pelaksanaan, gaung itu telah bermetamorfosis menjadi tornado atau angin putting beliung yang menjadikan situasi berubah status menjadi “awas”.

Ketika status menjadi begitu darurat, segala cara cenderung digunakan untuk mencari selamat. Demikianlah yang sering kita dengar baik yang masih berupa bisik-bisik, obrolan warung kopi, sampai yang serius seperti kasus “Siami” beberapa waktu lalu.
Uraian di atas cukup menggambarkan bahwa, magnet UN telah membuat hampir semua kompenen pendidikan melupakan hakikat evaluasi yang sebenarnya. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, mereka telah mengabaikan hakikat pendidikan yang sebanarnya.
Tulisan ini tidak untuk mengungkap “bisik-bisik” seputar UN yang tentu saja jika dibicarakan tidak selesai karena semua pihak yang terlibat sudah pasti akan saling beradu argumentasi. Tulisan ini hanya mencoba mengungkap bahwa selain UN yang telah menyedot energi, terdapat sebuah konsep evaluasi yang seharusnya dijadikan pedoman bagi semua pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, khususnya pengajaran bahasa Indonesia.
UN wajib kita sukseskan, tetapi konsep evaluasi juga harus dipahami dan diimplementasikan dalam pengajaran agar keberhasilan siswa kita bukan hanya berupa nilai kosong yang tanpa makna. Dengan implementasi konsep evaluasi, diharapkan nilai yang tercantum diijazah dengan gagah itu menjadi gambaran kualitas siswa secara menyeluruh.

B. Pandangan Douglas Brown tantang Ujian
Konsep tentang ujian diungkap oleh H. Douglas Brown dalam bukunya “Teaching by Principles”. Berikut ini, disajikan rangkuman salah satu bab dalam buku tersebut.
Tes harus dibedakan dengan pengajaran walaupun keduanya saling tergantung. Di dalam proses pengajaran sering dilakukan tes yang bersifat informal atau disebut tes formatif. Yang dimaksud tes adalah tes formal yang harus dirancang khusus dan sistematis untuk mengatahui seluruh kemampuan dan pengetahuan secara ekstensif. Tes ini disebut juga dengan tes sumatif yang biasanya dilakukan setelah akhir unit, modul, atau semester.
Dari sudut ilmu pendidikan, pemisahan tes dan pengajaran sangat penting dalam kaitannya dengan motivasi intrinsik. Untuk mencapai hasil optimal, siswa sebaiknya diberikan kebebasan untuk berkesperimen dan mencoba untuk menguji hipotesis tanpa merasa bahwa kemampuannya sedang dijui.
Tanda-tanda perbaikan tes bahasa sudah muncul. Hal ini ditandai oleh beberapa indikator seperti :
1. Pandangan baru tentang intelegensi
Semula intelegensi dianggap sebagai kemampuan berbahasa dan matematika saja sehingga tes mengacu pada aturan seperti : dibatasi waktu, pilihan ganda, pengecoh, panjang dan artificial. Gardner mengajukan jenis intelegensi sebagai kemampuan (1) bahasa (2) matematika (3) spasial (4) musical (5) kinestetik (6) interpersonal dan (7) intrapersonal. Stenberg menambahkan lagi dengan (8) kreatif dan rekayasa. Pandangan ini memberikan kebebasan untuk merencanakan tes agar benar-benar mengukur seluruh kemampuan berbahasa, proses belajar dan kemampuan mendapatkan makna.
2. Tes berbasis Penampilan
Tes ini mulai dikembangkan untuk menggantikan tes tertulis. Bentuknya antara lain : masalah terbuka, proyek, portofolio, eksperimen, laboratorium, penulisan esai, kerja kelompok. Walapun tes ini membutuhkan waktu dan lebih mahal, tetapi menghasilkan validitas yang lebih tinggi. Siswa diuji dalam penampilan yang actual. Validitas isinya diukur melalui proses berdasarkan criteria perilaku yang telah ditetapkan.
3. Tes Interaktif Bahasa
Tes interaktif diilhami oleh teori Intelegensi Gardners . Siswa dilibatkan dalam proses kreatifitas berinteraksi dengan orang lain. Tes interaktif mengukur penampilan perilaku secara actual. Berbeda dengan tes tertulis pilihan ganda, tes interaktif melibatkan diasumsikan lebih baik karena dapat mendapatkan gambaran penampilan berbahasa secara keseluruhan.
Contohnya adalah tes dialog fungsional (Wesche , 1983) dan Tes Batere (Merill Swain ,1990) Tes dialog fungsional meletakan siswa pada situasi imjiner yang menugaskan mereka bermain peran dan diminta untuk melengkapi fungsi tertentu seperti informasi, persuasi dsb. Tes baterai yang memasukan pilihan ganda sebagai salah satu komponen di dalam tiga bagian tes. Dua bagian yang lain mengukur ketrampilan komunikasi lisan dan kemampuan menulis. Masing-masing bagian menyumbang pada tata bahasa, wacana dan kemampuan sosiolinguistik.
Agar sebuah tes bahasa yang dapat memberikan motivasi intrinsic, beberapa prinsip berikut harus dipenuhi.
1. Prinsip yang memberikan siswa persiapan tambahan
Dapat dilakukan dengan : (a) memberikan format tes secara umum (b) memberikan informasi tentang tipe soal (c) memberikan kesempatan pada siswa untuk berlatih soal tertentu (d) mendorong siswa mereviu materi (d) memberikan saran dan strategi dalam persiapan (e) saran dan strategi pada waktu tes (f) membuat tes menarik.
2. Vaiditas Permukaan
Sering siswa tidak mengetahui kemampuan apa yang sedang dites. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah agar siswa merasa tes ini valid, yaitu : (a) menyusun tes dengan teliti dan format yang baik (b) soal jelas dan lengkap (c) petunjuk yang jelas (d) tugas sudah dikenali dan berhubungan dengan materi (e) tingkat kesulitan yang sesuai (f) kondisi dibisakan dengan cara terbaik agar siswa menampilkan yang terbaik.
3. Prinsip Keaslian
Pastikan bahasa di dalam tes sealamiah dan seasli mungkin. Tes bahasa dilaksanakan dalam sebuah konteks dengan mengorganisasi tema-tema yang membuat siswa nyaman dan senang. Demikin juga suasana tes dirancang senyaman mungkin bagi siswa.
4. Prinsip ‘pencucian kembali’
Prinsip ini berimplikasi siswa dapat mendiskusikan umpan balik dan mengevaluasi. Hal ini dapat menguntungkan bagi proses belajar karena dapat menjadi alat diagnosis kesulitan belajar.
Pandangan Brown di atas menyadarkan kita bahwa evaluasi bukan hanya terfokus pada UN yang selama ini telah menyita energi kita. Evaluasi merupakan bagian dari proses pendidikan yang mempunyai pijakan kuat pada teori dan prinsip yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
C. Kaitan Ujian dengan Motivasi Belajar
Ujian mempunyai kaitan yang erat dengan motivasi. Secara gamblang kita dapat menyaksikan siswa kita memacu dirinya agar mendapatkan nilai bagus dalam sebuah ujian. Permasalahannya adalah bagaimana agar motivasi siswa tersebut mengarah pada keberhasilan proses pendidikan yang sebenarnya, bukan terbatas pada nilai bagus semata tetapi pada pencapaian tujuan pembelajaran.
Peran motivasi intrinsik dalam keberhasilan proses belajar sangatlah penting. Dalam sebuah konferensi yang membahas kegagalan pendidikan di Amerika Serikat, para ahli pendidikan sepakat memasukan motivasi sebagai salah satu dari empat pokok pembahasan yang menentukan keberhasilan pendidikan. Keempat pokok pembahasan itu adalah : (a) struktur belajar (b) kesiapan (c) hakikat intuisi dan (d) motivasi. (Nasution, 2006:2).
Motivasi intrinsik dapat dibangkitkan dengan berbagai cara. Nilai-nilai ujian, penghargaan, pujian dan hadiah-hadiah merupakan sarana untuk membangkitkan motivasi. Namun motivasi seperti ini sifatnya jangka pendek dan bersifat temporer. Untuk membangkitkan motivasi yang sifatnya jangka panjang diperlukan strategi tertentu. Menanamkan bahwa bahan pelajaran memiliki nilai atau makna bagi kehidupan adalah salah satunya. (Nasution, 2006:13).
Sertain (Sagala,2010:100) membagi motivasi menjadi motivasi psikologikal dan motivasi social. Motivasi psikologikal bersifat dorongan-doroangan fisiologis seperti lapar, haus, seks dan sebagainya. Motivasi social berhubungan dengan manusia lain dalam masyarakat seperti dorongan estetis, berbuat baik dan sebagainya. Woodworth mengklasifikasi motivasi menjadi (a) motivasi yang tidak dapat dipelajari, yaitu berupa dorongan yang ditimbulkan oleh kebutuhan dan kekurangan dalam tubuh seperti lapar, haus, sakit dan sebagainya (b) motivasi yang dapat dipelajari yaitu motif yang diperoleh melalui latihan dan kehidupan seperti tujuan hidup, masa depan dan sebagainya.
Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan dasar yang primer seperti pakan, papan dan sandang. Rasa aman dan perlindungan seperti bebas dari bahaya, ancaman, ketakutan, ketidakadilan dan bencana. Rasa setia kawan, diakui oleh kelompok, kerjasama adalah contoh kebutuhan social. Manusia juga membutuhkan penghargaan berupa prestasi, prestise, kekuasaan, kemampuan, dan kepemilikan. Kebutuhan aktualisasi diri merupakan puncak hirarki yang berupa kebebasan berekspresi, kreatifitas, pengetahuan, estetis, dan pengembangan diri.
Ausubel (Nasution, 2006 : 181) menyatakan motivasi bukan merupakan syarat mutlak untuk belajar. Tak perlu ditunggu lebih dahulu adanya motivasi sebelum belajar. Bila sebuah proses belajar berhasil, maka akan timbul motivasi dengan sendirinya dan keinginan untuk lebih banyak belajar.
Skiner berpendapat masalah motivasi bukan soal memberikan motivasi, akan tetapi lebih terfokus pada cara mengatur kondisi belajar sehingga memberikan reinforcement (Nasution, 2006 : 181).
Motivasi intrinsik yang diharapkan muncul oleh sebuah tes seperti yang diharapkan Brown adalah motivasi alamiah yang muncul dari dalam individu pelajar untuk mengeluarkan seluruh kemampuan dan pengetahuan tanpa adanya tekanan seperti lulus dan tidak lulus seperti dalam tes-tes yang sering dilakukan selama ini. Tanpa adanya tekanan seperti itu, siswa dapat mengeluarkan semua ide-idenya sehingga diperoleh kemampuan bahasa yang alamiah.
Bagaimanakah motivasi yang dibutuhkan siswa ? Untuk menjawab pertanyaan ini sebaiknya motivasi diberikan sesuai dengan prinsip-prinsip motivasi ( Hamalik,181-3 ). Secara ringkas, prinsip-prinsip motivasi adalah sebagai berikut :
• Pujian lebih efektif daripada hukuman
• Semua siswa mempunyai kebutuhan psikologis yang mendasar yang harus mendapat kepuasan.
• Motivasi yang berasal dar dalam individu lebih efekteif daripada motivasi yang berasal dari luar.
• Jawaban yang tepat membutuhkan penguatan
• Motivasi mudah menjalar dan menyebar luas kepada orang lain.
• Pemahaman yang jelas akan tujuan belajar akan merangsang motivasi.
• Tugas-tugas yang berasal dari diri sendiri akan menimbulkan minat yang lebih besar untuk mengerjakannya daripada tugas dari guru.
• Pujian-pujian yang dating dari luar kadang-kadang cuku efektif.
• Teknik dan prosedur mengajar yang bermacam-macam efektif memelihara minat siswa.
• Minat khusus yang dimiliki siswa berdaya guna untuk mempelajari hal-hal lainnya.
• Kegiatan yang dapat merangsang minat siswa dengan kemampuan kurang tidak ada artinya bagi siswa berkemampuan tinggi.
• Tekanan dari kelompok siswa umumna lebih efektif dalam memotivasi dibandingkan tekanan dari orang dewasa.
• Motivasi yang tinggi erat hubungannya dengan kreatifitas siswa.
• Kecemasan akan menimbulkan kesulitan belajar.
• Tugas yang terlalu sukar dapat mengakibatkan frustasi sehingga dapat menuju demoralisasi.
• Tiap siswa mempunyai tingkat frustasi dan toleransi yang berlainan.
Berkaitan dengan peranan motivasi, paradigma yang selama ini kurang tepat tentang tes perlu dirubah. Perubahan ini perlu dilakukan agar potensi intelegensi yang dimiliki siswa dapat digali dan diasah secara optimal.
D. Teori Kecerdasan
Agar sebuah tes bahasa dapat memberikan motivasi intrinsik, dalam penyusunan tes perlu mempertimbangkan jenis-jenis kecerdasan seperti yang disebutkan Brown. Dengan memahami Jenis-jenis kecerdasan tersebut guru memiliki bekal yang cukup untuk mengenali siswanya dan menemukan jenis-jenis ujian yang tepat.
Secara lengkap, jenis-jenis kecerdasan tersebut adalah :
1. Kecerdasan verbal / bahasa
Kecerdasan ini dinampakan oleh kepekaan akan makna dan urutan kata serta kemampuan membuat beragam penggunaan bahasa untuk menyatakan dan memaknai arti yang kompleks. Percakapan spontan, dongeng, humor dan kelakar adalah kemampuan alamiah yang berkaitan dengan kecerdasan verbal.
2. Kecerdasan logika / matematika
Kecerdasan ini paling mudah diukur dan distandarisasikan. Kecerdasannya tampak pada kemampuan analisis dan sainstifik.
3. Kecerdasan spasial / visual
Kecerdasan ini umumnya terampil menghasilkan imaji mental dan menciptakan representasi grafis, mereka sanggup berpikir tiga dimensi, mampu mencipta ulang dunia visual.
4. Kecerdasan tubuh / kinestetik
Kecerdasan ini memungkinkan terjadinya hubungan antara pikiran dan tubuh yang diperlukan untuk berhasil dalam aktifitas seperti menari, berolah raga, bela diri, drama dan sebagainya.
5. Kecerdasan musical / ritmik
Seseorang dengan bentuk kecerdasan ini mendengarkan pola music dan ritmik secara natural dan kemudian dapat memproduksinya. Bentuk kecerdasan ini sangat menyenangkan, karena music memiliki kapasitas untuk mengubah kesadaran kita, menghilangkan stress, dan meningkatkan fungsi otak.
6. Kecerdasan interpersonal
Individu dengan kecerdasan interpersonal memiliki kemampuan intuitif, pintar membaca suasana hati dan maksud orang lain. Ia pintar melakukan negosiasi dan menyediakan umpan balik atau evaluasi.
7. Kecerdasan Intrapersonal
Berupa kemampuan untuk memahami dan mengartikulasi cara kerja terdalam dari karakter dan kepribadian.
8. Kecerdasan spiritual
Kecerdasan ini dipandang sebagai kompinasi antara kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal. (Sagala, 2010 : 84-86 )
E. Jenis dan Bentuk Tes Bahasa
Keterampilan dalam meramu tes atau ujian bahasa sangat diperlukan bagi seorang guru. Dengan pengetahuannya, guru dapat memvariasi jenis dan bentuk tes sehingga benar-benar dapat mengetahui keberhasilan proses pembelajaran.
a. Komponen Tes Kebahasaan
Dalam pengajaran bahasa, khususnya bahasa Indonesia tes kebahasaan mencakup kompetensi kebahasaan, ketrampilan berbahasa dan kesusastraan. (Nurgiyantoro,2009:165)
1) Tes Kompetensi Kebahasaan
Tes kompetensi kebahasaan secara garis besar dapat dikelompokan menjadi tes struktur bahsa dan kosa kata. Struktur bahasa dan kosa kata merupakan aspek yang penting, karena pada dasarnya tindak berbahasa merupakan pengoperasian kedua aspek ini
2) Tes Kemampuan Berbahasa
Tes ini juga disebut dengan tes performansi karena pda dasarnya tes kemampuan berbahasa mengukur kemampuan seseorang dalam kegiatan berbahasa. Kemampuan berbahasa dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kemampuan memahami (reseptif) dan kemampuan menggunakan (produktif).
Kemampuan reseptif terdiri dari kemampuan membaca dan menyimak. Kemampuan produktif terdiri dari kemampuan menulis dan berbicara.
Istilah Performansi dikemukakan oleh Chomsky pada tahun 1965 (Tarigan,1990:23). Performansi merupakan penggunaan bahasa atau apa yang dilakukan oleh pembicara-pendengar secara actual. Performansi dibedakan dengan kompetensi. Kompetensi mengacu pada pengetahuan seseorang mengenai bahasa, sedangkan performansi merupakan penggunaan pengetahuan tersebut dalam upaya menghasilkan dan memahami kalimat.
Dalam pembelajaran bahasa kedua dan bahasa asing, performansi seseorang pembelajar dalam suatu bahasa dapat mengindikasikan kompetensinya. Tetapi dalam performansi, seseorang mungkinmembuat sebuah kesalahan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa factor seperti : kelelahan, kurang perhatian, kegugupan, kegemparan dan sebagainya.
3) Tes Kesastraan
Tes kesastraan terdiri dari tes pengetahuan tentang sastra dan tes spresiasi sastra. Tes yang bersifat apresiatif akan menopang tercapainya pengajaran sastra yang berkadar apresiatif, bukan hanya teoritis.
b. Jenis Tes Bahasa
Nurgiyantoro (2009:169-185) menyebutkan jenis-jenis tes bahasa.
1) Tes Diskrit
Tes diskrit hanya menekankan atau menyangkut satu aspek kebahsanaan pada satu waktu. Tiap satu butir soal hanya dimaksudkan untuk mengukur satu aspek kebahasaan, misalnya fonologi, mrofologi dan sebagainya.
2) Tes Integratif
Tes integrative muncul sebagai reaksi terhadap tes diskrit. Dalam tes ini, aspek-aspek kebahsaan tidak dipisahkan, malainkan dalam wujud bahasa yang merupakan kesatuan yang padu. Tes ini dapat berbentuk : menyusun kalimat, menafsirkan wacana, memahami bacaan dan menyusun alinea.
3) Tes Pragmatik
Tes pragmatic sejalan dengan pendekatan komunikastif dalam pengajaran bahasa. Tes ini menekankan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dengan bahasa dalam situasi tertentu. Bentuk-bentuknya antara lain : dikte, berbicara, pemahaman paraphrase dan jawaban pertanyaan.
Dalam Kongres Linguistik Internasional, Moulton menyatakan lima prinsip pengajaran bahasa, yaitu :
• Bahasa adalah lisan, bukan tulisan.
• Bahasa adalah seperangkat kebiasaan
• Yang diajarkan adalah bahasa, bukan tentang bahasa
• Bahasa adalah yang diajarkan oleh si penutur asli.
• Bahasa adalah berbeda-beda
Mulai tahun 1984 arah pembelajaran bahasa Indonesia berubah dengan penegasannnya dalam pendahuluan GBPP bahwa berbahasa adalah menggunakan bahasa untuk komunikasi. Penegasan ini selaras dengan pendekatan komunikatif yang menjadi aliran baru dalam pembelajaran bahasa.
Pendekatan komunikatif yang disebut juga dengan pendekatan pragmatic berdasarkan kebermaknaan bentuk-bentuk bahasa yang dipelajari sehingga memungkinkan siswa memakainya dalam komunikasi reseptif (membaca dan menyimak) dan berkomunikasi produktif (menulis dan berbicara)
Stevick ( Subana,27) menyatakan ciri-ciri pendekatan pragmatic yaitu :
• Berorientasi pada kebutuhan siswa
• Keseimbangan kekuatan di dalam kelas berupa : kebebasan, otonomi, dan kreatifitas siswa.
• Kesalahan dianggap hal yang wajar
• Mempelajari bahasa seharusnya dilihat sebagai proses kognitif yang wajar.
c. Jenis Tes Bahasa Berdasarkan Tujuan
Iskandarwassid (2008:179) menyatakan jenis-jenis tes berdasarkan tujuannya adalah :
1) Profiency
Digunakan untuk mengukur kemampuan bahasa tanpa memperhatikan pengetahuan yang telah diperoleh dari suatu pelatihan atau kegiatan sejenis. Materi tes tidak mengacu pada tujuan kurikulum atau kursus, tetapi merujuk kepada spesifikasi yang ditentukan oleh lembaga.
2) Placement
Tes penempatan digunakan untuk menenpatkan peserta didik pada tahap atau tingkat tertentu dalam program pengajaran sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.
3) Diagnosis
Tes diagnosis digunakan untuk mengetahui atau mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan peserta didik sehingga mengajar bisa memberikan program pengajaran berikutnya.
4) Achievment
Tes pencapaian digunakan untuk mengetahui sejauh mana peserta didik memahami suatu materi yang telah diberikan.

A. SIMPULAN
Dari rangkuman dan analisis di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Tes sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses pendidikan selama ini dipandang secara salah oleh para pelaku pendidikan ( siswa dan guru ). Pandangan ini mulai berubah seiring dengan perkembangan teori tentang intelegensi yang diikuti perkembangan bentuk-bentuk tes bahasa seperti tes performansi dan tes interaktif.
2. Teori tentang intelegensi yang semula memandang kecerdasan hanya berupa kemampuan linguistic dan matematik, bertambah dengan aspek kecerdasan yang lain, yaitu : spasial, musical, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan rekayasa.
3. Tes performansi merupakan tes kemampuan berbahasa yang mengukur kemampuan seseorang dalam kegiatan berbahasa. Kemampuan berbahasa dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kemampuan memahami (reseptif) dan kemampuan menggunakan (produktif)
4. Tes Interakstif merupakan tes pragmatic yang sejalan dengan pendekatan komunikastif dalam pengajaran bahasa. Tes ini menekankan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dengan bahasa dalam situasi tertentu. Bentuk-bentuknya antara lain : dikte, berbicara, pemahaman paraphrase dan jawaban pertanyaan.
5. Untuk menyusun tes bahasa yang dapat memberikan motivasi intrinsik harus memperhatikan prinsip-prinsip : memberikan siswa persiapan tambahan, memiliki validitas permukaan, prinsip keaslian dan prinsip ‘pencucian kembali’
6. Problematika yang muncul dalam dunia pendidikan di Indonesia, adalah kenyataan bahwa tes masih merupakan sesuatu yang menakutkan siswa terutama dengan adanya Ujian Nasional. Motivasi yang terbangun oleh UN tidak sesuai dengan prinsip-prinsip motivasi dan tes bahasa.
7. Motivasi intrinsik yang diharapkan terbangun oleh sebuah tes adalah motivasi yang sesuai dengan teori-teori motivasi seperti yang dikemukan oleh para ahli motivasi seperti Maslow, Ausubell, dan Skinner.
8. Teori tentang tes bahasa memungkinkan berbagai jenis tes dilakukan untuk mengukur komponen bahasa yang meliputi : kompetensi berbahasa, kemampuan berbahasa dan kesastraan. Tes terebut dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti tes diskrit, tes integrative dan tes pragmatic. Tujuannyapun berbeda-beda seperti untuk tes profiency, tes placement, tes diagnosis, dan tes achievement.

Kamis, 09 Desember 2010

KESANTUNAN BERBAHASA PENGGUNA FACE BOOK

A. Pendahuluan
Jaringan face book saat ini menjadi sebuah media komunikasi yang akrab di kalangan masyarakat. Berdasarkan perkiraan kasar, pengguna face book di seluruh dunia sudah mencapai ratusan juta. Di Indonesia pengguna face book sampai bulan April 2010 pengguna Facebook di Indonesia mencapai 21.027.660 tumbuh tertinggi kedua di Asia setelah Malaysia (wikipedia.org) Jumlah ini akan terus berkembang karena setiap hari pengguna face book akan terus bertambah.
Selain berdampak positif, beberapa kasus penah terjadi sebagai dampak negative penggunaan face book. Komnas Perlindungan Anak (PA) mencatat, dari 100 laporan pengaduan dampak Facebook, 60 kasus berkaitan dengan penggunaan bahasa yang tidak baik oleh anak. (Kompas.com, 17 Februari 2010) Empat siswa SMAN 4 Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, dikeluarkan dari sekolah. Mereka dituduh menghina salah seorang guru wanita di sekolah itu melalui jejaring sosial Facebook. (Kompas.com, 15 Februari 2010) Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring. Politisi PKS itu menyayangkan penggunaan bahasa kasar dalam komunikasi di situs jejaring sosial. (news.okezone.com)
Penelitian tentang dampak face book pernah dilakukan. Muhammad Effendi meneliti Fenomena penggunaan facebook di Indonesia (fend-skripsifendighozali.blogspot.com) Gustitia Putri P dari UNS Surakarta meneliti dampak budaya dalam skripsi berjudul “Analisis Positif Negatif Facebook di Indonesia”
Sebagai media komunikasi, face book mengandalkan ketrampilan berbahasa (menulis dan membaca ) sebagai alat menyampaikan pikiran dan perasaan. Walaupun ada beberapa menu yang memungkinkan menampilkan fitur gambar dan film, tetapi fitur-fitur tersebut selalu diiringi menu komentar yang memungkinkan pengguna face book menyatakan ide, pendapat, perasaan dan sebagainya. Dalam penyampaiannya, pengguna face book terikat oleh aturan formal seperti tidak diperbolehkan mengungkapkan hal-hal yang berbau pornografi dan aturan informal seperti kesantunan.
Kesantunan dalam berbahasa sangat dibutuhkan karena akan berpengaruh dalam proses komunikasi. Beberapa kasus yang telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa kesantunan bebahasa dalam face book merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan.
Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dianalisis kesantunan berbahasa pada jaringan face book, khususnya dalam pengungkapan kalimat direktif yang berupa saran dan permintaan. Tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimanakah pemakaian bahasa Indonesia dalam jaringan face book ditinjau dari segi kesantunan berbahasa.
B. Definisi
1. Face Book
Facebook adalah sebuah sarana sosial yang membantu masyarakat untuk berkomunikasi secara lebih effisien dengan teman-teman, keluarga dan teman sekerja. Perusahaan ini mengembangkan teknologi yang memudahkan dalam sharing informasi melewati social graph, digital mapping kehidupan real hubungan sosial manusia. Siapun boleh mendaftar di Facebook dan berinteraksi dengan orang-orang yang mereka kenal dalam lingkungan saling percaya.” (Wikipedia.or.id)
Penemu situs pertemanan ini adalah Mark Zuckerberg seorang mahasiswa “droup out” Universitas Harvard Amerika Serikat. Dia dilahirkan pada 14 Mei 1984. Kejeniusan dan kreativitas lewat Facebook menempatkan dirinya sebagai jajaran 400 orang terkaya di Amerika Serikat versi Majalah Forbes edisi September 2008, tepatnya peringkat 321 dengan total kekayaan 1,5 Miliyar Dollar US. (Forbes.com; September 2008)
Banyak menu yang terdapat pada jaringan face book. Menu utama berupa “beranda” yang memungkinkan pengguna mengungkapkan semua perasaan dan pikirannya dan kemudian ditanggapi oleh pengguna lain yang sudah terikat pertemanan. Menu “profil” berisi “dinding, info, foto, video, tautan dan sebagainya”. Menu-menu ini menyediakan kolom komentar yang dapat diisi oleh pengguna untuk menyatakan tanggapan dan pendapatnya.

2. Kesantunan Berbahasa
a. Pengertian
Kesantunan (politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut "tatakrama". (Muslich, 2006)
Selanjutnya Muslich menyatakan bahwa kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya.
Tata cara berbahasa seseorang dipengaruhi norma-norma budaya suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Tata cara berbahasa orang Inggris berbeda dengan tatacara berbahasa orang Amerika meskipun mereka sama-sama berbahasa Inggris. Begitu juga, tata cara berbahasa orang Jawa bebeda dengan tata cara berbahasa orang Batak meskipun mereka sama-sama berbahasa Indonsia. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya. Itulah sebabnya kita perlu mempelajari atau memahami norma-norma budaya sebelum atau di samping mempelajari bahasa. Sebab, tatacara berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa.
Hal di atas sejalan dengan pendapat Koentjaraningrat ( Aslinda, 2007:93) yang menyatakan bahwa bahasa merupakan unsur utama yang mengandung semua unsur kebudayaan manusia lainnya. Saat ini, setelah unsur-unsur lain dari kebudayaan manusia telah berkembang, bahasa hanya merupakan salah satu unsur, namun fungsinya sangat penting bagi kehidupan manusia.
Secara implisit Nababan ( 1989:38) memasukan kesantunan berbahasa sebagai kompetensi sosiolinguistik. Kompetensi sosiolinguistik mengalamatkan atau mengarahkan luas/ tingkat pemahaman ucapan-ucapan yang dihasilkan dan dipahami secara tepat dan memuaskan dalam berbagai kontekstual seperti status partisipan, maksud/ tujuan interaksi, dan norma-norma atau konvensi-konvensi interaksi teradap faktor-faktor tersebut.
Apabila dikaitkan dengan moral, kesantunan berbahasa termasuk tolok ukur moral seseorang. Sebagaimana dinyatakan oleh Magnis Suseno (Budiningsih, 2004: 24) bahwa moralitas sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriah. Tindakah lahiriah ini salah satunya adalah ucapan atau kegiatan berbahasa seseorang. Jadi dapat dikatakan bahwa kesantunan berbahasa mencerminkan moralitas seseorang.
b. Pembentukan Kesantunan Berbahasa
Sebagaimana disinggung di muka bahwa kesantunan berbahasa menggambarkan kesantunan atau kesopansantunan penuturnya. Kesantunan berbahasa (menurut Leech dalam Muslich, 2006 ) pada hakikatnya harus memperhatikan empat prinsip.
1) Penerapan prinsip kesopanan (politeness principle) dalam berbahasa. Prinsip ini ditandai dengan memaksimalkan prinsip-prinsip kesantunan yang terdiri dari : (1) maksim kebijakan yang mengutamakan kearifan bahasa, (2) maksim penerimaan yang menguatamakan keuntungan untuk orang lain dan kerugian untuk diri sendiri, (3) maksim kemurahan yang mengutamakan kesalutan/rasa hormat pada orang lain dan rasa kurang hormat pada diri sendiri, (4) maksim kerendahan hati yang mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa rendah hati pada diri sendiri, (5) maksim kecocokan yang mengutamakan kecocokan pada orang lain, dan (6) maksim kesimpatisan yang mengutakan rasa simpati pada orang lain. Dengan menerapkan prinsip kesopanan ini, orang tidak lagi menggunakan ungkapan-ungkapan yag merendahkan orang lain sehingga komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif.
2) Penghindaran pemakaian kata tabu (taboo). Pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang berbau seks, kata-kata yang merujuk padaorgan-organ tubuh yang lazimditutupi pakaian, kata-kata yang merujuk pada sesuatu benda yang menjijikkan, dan kata-kata "kotor" daqn "kasar" termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu.
3) Sehubungan dengan penghindaran kata tabu, penggunaan eufemisme, yaitu ungkapan penghalus. Penggunaan eufemisme ini perlu diterapkan untuk menghindari kesan negatif.
4) Penggunaan pilihan kata honorifik, yaitu ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan (undha-usuk, Jawa) tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidakmengenal tingkatan. Hanya saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan, penentuan kata-kata honorifik sudah ditetapkan secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan. Misalnya, bahasa krama inggil (laras tinggi) dalam bahasa Jawa perlu digunakan kepada orang yang tingkat sosial dan usianya lebih tinggi dari pembicara; atau kepada orang yang dihormati oleh pembicara.
Grice (Leech,1983:11) mengemukakan bahwa prinsip kerja sama dalam penggunaan bahasa yang tertib itu direalisasikan dengan memperhatikan empat maksim, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Maksim kuantitas menghendaki agar dalam melakukan tindak tutur, setiap partisipan memberikan informasi yang cukup, yakni sebanyak yang diperlukan oleh mitra tuturnya. Maksim kualitas mengikat setiap partisipan untuk menyampaikan hal yang benar kepada mitra tuturnya. Maksim relevansi mengikat setiap partisipan memberikan kontribusi (informasi) yang relevan dengan hal atau topik yang sedang dibicarakan. Maksim cara mengikat setiap partisipan untuk mengungkapkan informasi secara benar, langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebihan.
C. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode analisis isi ( content analysis ). Fraenkel dan Willan (2001 : 483) menyatakan analisis isi adalah teknik yang dapat digunakan peneliti untuk mengkaji perilaku manusia secara tidak langsung melalui analisis terhadap komunikasi mereka seperti : buku teks, esay, Koran, novel, artikel majalah, lagu, gambar iklan dan semua jenis komunikasi yang dapat dianalisis.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumentasi. Kata “dokumen”, digunakan untuk mengacu pada setiap tulisan atau bukan selain “rekaman”, yaitu tidak dipersiapkan secara khusus untuk tujuan tertentu, seperti surat-surat, buku harian, naskah editorial surat kabar, catatan kasus, skrip televisi, foto-foto (Syamsudin dan Vismaia, 2007:108) Sesuai dengan pengertian ini, tuturan-tuturan pengguna face book yang tercantum pada menu dinding dapat dianggap sebagai dokumen. Untuk mengetahui usia dan tingkat pendidikan, peneliti memeriksa informasi pengguna face book yang tercantum pada menu info.
Jumlah pengguna face book yang diteliti 277 orang dengan perincian sebagai berikut : (1) Remaja berpendidikan SMP berjumlah 52orang ,(2) Remaja berpendidikan SMA berjumlah 78 orang (3) Dewasa berpendidikan Mahasiswa berjumlah35orang (4)Dewasa berpendidikan sarjana berjumlah 47 orang dan (5) Diluar ketegori dan tidak diketahui berjumlah 65orang.
Dari populasi tersebut ditarik sampling secara purposif dengan mengambil tuturan yang berisi kalimat berilokusi direktif saran dan permohonan. Searle (Leech,1983:164) menyatakan ilkokusi direktif bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan oleh petutur misalnya memesan, memerintah, memohon, menuntut, dan memberi nasihat.
Selanjutnya tuturan-tuturan tersebut dianalisis menggunakan model alir. Model yang dinyatakan oleh Miles dan Huberman mempunyai langkah-langkah sebagai berikut :
1. Antisipasi, yaitu untuk menyiapkan butir-butir yang akan dianalisis.
2. Reduksi data, yaitu kegiatan untuk memilah, mengelompokan dan mengurangi data sehingga data mencapai titik jenuh.
3. Penyajian data, yaitu penyajian data hasil reduksi untuk kemudian dianalisis berdasarkan prinsip-prinsip kesantunan.
4. Penarikan kesimpulan, merupakan langkah terakhir dari analisis data.
D. Hasil Penelitian
Dari hasil reduksi data diperoleh 32 situasi tutur yang berisi kalimat direktif saran dan permintaan dan dikategorikan berdasarkan usia dan pendidikan penutur dan petutur. Tiga puluh dua situasi tutur berisi 72 tuturan. Tuturan tersebut dianalisis berdasarkan prinsip-prinsip kesantunan yaitu (1) prinsip kesantunan Leech (2) Ketiadaan kata tabu (3)Eufimisme (4) Honorifik dan (5) prinsip kerjasama Grice.
Diperoleh 49 tuturan yang memenuhi prinsip kesantunan dan 24 tuturan yang tidak memenuhi prinsip kesantunan. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 berisi :
1. No data tuturan ( 1 – 32 )
2. Tuturan (setiap tuturan diberi nomor kode seperti 1a,1b,1c dan selanjutnya)
3. kategori penutur dan petutur yang meliputi usia (R untuk remaja, D untuk dewasa) ,tingkat pendidikan (P untuk SMP. A untuk SMA, M untuk mahasiswa dan S untuk sarjana )dan jenis kelamin (L untuk laki-laki dan P untuk perempuan)
4. Prinsip Kesantunan Leech berisi maksim-maksim kesantunan yang dipenuhi atau dilanggar oleh tuturan. Kode (T) dbelakang maksim berarti tuturan tersebut tidak memenuhi maksim.
5. Kata Tabu (A berarti ada, TA berarti tidak ada )
6. Eufimisme (A berarti ada, TA berarti tidak ada, TP berarti tidak diperlukan)
7. Honorifik (A berarti ada, TA berarti tidak ada, TP berarti tidak diperlukan)
8. Prinsip kerjasama Grice berisi maksim-maksim kerja sama yang dipenuhi atau dilanggar oleh tuturan. Kode (T) dbelakang maksim berarti tuturan tersebut tidak memenuhi maksim.
9. Simpulan (Santun dan tidak santun )

Dalam table 2, kajian dilakukan untuk melihat tuturan berdasarkan kelmpok penutur dan petutur. Diperoleh ketidak santunan sebanyak 2 dari 4 tuturan( 50 %) untuk remaja SMP dengan remaja SMP. Ketidak santunan sebanyak 10 dari 20 tuturan ( 50% ) untuk kelompok remaja SMA dengan remaja SMA. Tidak ditemukan ketidaksantunan pada kelompok remaja SMA dengan dewasa mahasiswa. Ketidak santunan sebanyak 5 dari 10 (50%) pada kelompok dewasa mahasiswa dan dewasa mahasiswa. Terdapat ketidak santunan 3 dari 13 tuturan ( 23 % ) antara remaja SMA dengan dewasa sarjana. Ketidak santunan 4 dari 24 (16 %) pada tuturan antara dewasa sarjana dengan dewasa sarjana.
Pelanggaran terhadap prinsip kesantunan terbesar pada prinsip kerja sama Grice ( 17 pelanggaran ) diikuti pelanggaran prinsip kesantunan Leech (12 pelanggaran). Penggunaan kata-kata tabu terjadi pada 10 tuturan dan penghilangan eufimisme terjadi 10 kali. Semua tuturan memenuhi prinsip penggunaan honorific.
E. Diskusi
Dari hasil analisis di atas, beberapa temuan perlu didiskusikan lebih lanjut.
1. Pelanggaran terhadap prinsip kasantunan terjadi pada semua situasi tutur, walaupun persentasenya menurun seiring dengan tingkat usia dan tingkat pendidikan. Dalam situasi tutur antara usia remaja berpendidikan SMP, usia remaja berpendidikan SMP dan dewasa berstatus mahasiswa, persentase kesantunan sekitar 50 %. Menurun pada situasi tutur dewasa berstatus sarjana. Hasil ini sejalan dengan, fenomena yang diungkap oleh Sauri ( 2006: 112). Dalam bertutur kata para remaja menunjukkan ketidaksantunan bahasa yang digunakan dalam pembicaraan antarremaja. Dalam pandangan sosiolinguistik, gejala ini juga sejalan dengan beberapa penelitian seperti yang dikemukakan oleh Wardough (2001:167). Ia menyimpulkan bahasa yang digunakan remaja mencerminkan usia dan menjadi bahasa yang aneh bagi usia yang lebih tua.
2. Pelanggaran prinsip kesantunan bervariasi pada berbagai situasi tutur. Pelangaran prinsip kesantunan Leech dan Grice mendominasi ketidaksantunan antara orang dewasa. Pelanggaran yang berupa kata-kata tabu dan tidak adanya eufimisme mendominasi ketidak santunan berbahasa anak remaja. Gejala penggunaan kata tabu dalam bahasa remaja dapat ditinjau dari sudut pandang psikolinguistik. Kata Tabu mempunyai tujuan utama untuk menyalurkan situasi emosional dalam diri manusia. (Jay, 2004: 335). Secara psikologis, remaja dalam kondisi emosi yang masih labil sehingga cenderung lebih mudah mengungkapkan kata-kata tabu.
3. Selain temuan-temuan di atas, hal menarik lainnya yang berkenaan dengan pemakaian bahasa pada face book adalah munculnya bahasa khusus yang berbeda dengan pemakaian bahasa pada umumnya. Fenomena ini lebih tampak pada pemakaian bahasa oleh anak remaja dengan pendidikan SMP dan SMA. Pemakaian bahasa seperti ini sudah lama muncul dan menjadi bahan kajian. Beberapa media pernah mengungkapkan hasil kaijannya seperti Majalah Gema Widyakarya edisi 04 tahun 2010 mengungkapkan penggunaan bahasa Alay atau bahasa khusus yang sering digunakan dalam SMS dan face book. Kata-kata seperti : dunt (dong) , mupzh (maaf), beud (banget), sxan (sekalian), ftx (fotonya),bdw ,(by the way) dan sebagainya.
F. Kesimpulan
Dengan penelitian analisis isi diperoleh gambaran bahasa yang dipakai oleh para pengguna face book. Gambaran ini diperoleh dengan mengambil data tuturan pengguna face book yang berjumlah 277 orang yang terdiri dari berbagai usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Sampel ditarik secara purposif dengan mengambil tuturan yang berilokusi direktif berupa saran dan permintaan. Diperoleh 72 tuturan dari 32 situasi tutur.
Penelitian ini menghasilkan beberapa fenomena yang layak untuk didiskusikan lebih lanjut. Ketidaksantunan berbahasa terjadi pada semua tingkatan usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Prinsip-prinsip yang dilanggar bervariasi, namun tampak bahwa pengguna face book tingkat usia remaja cenderung lebih tidak santun dan lebih banyak menggunakan kata-kata tabu. Selain itu, muncul penggunaan bahasa yang tidak selazimnya dalam face book atau dikenal dengan bahasa Alay.
Ketiga fenomena di atas perlu dipecahkan, khususnya bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan dunia pendidikan, termasuk kita semua. Apakah gejala ini akan hilang seiring dengan perkembangan usia dan meningkatnya pendidikan kaum remaja ? Tentu saja tidak. Pendidikan yang mengajarkan tata cara berbahasa masih diperlukan untuk memperbaiki semua itu.(Bambang)

Sastra Terlupa Karakter Terlena

Hari-hari terakhir suguhan yang sering hadir di pagi bukan hanya secangkir kopi dan selembar roti tetapi juga berita-berita miring tentang negeri ini. Anggota DPR yang bersikeras ‘jalan-jalan’ ke luar negeri dengan berbagai dalih yang diputarbalikan. Ada pula kasus ‘jalan-jalannya’ pegawai negeri paling tersohor, Gayus, ke Bali. Berita-berita ini disajikan dengan penuh pesona oleh pembawa berita yang tidak kalah mempesona sehingga sering kita lupa bahwa di balik berita itu ada sesuatu yang hilang dari jiwa kita sebagai bangsa.
Berita-berita sejenis yang bertubi-tubi dan saling bersusulan membuat kita terkadang jenuh dan bosan. Satu persoalan belum tuntas, disusul persoalan lain sehingga ada kesan berita terbaru sengaja dimunculkan untuk mengalihkan perhatian publik. Akibatnya, sebagian besar publik merasa tidak ada yang aneh pada berita-berita tersebut. Bahkan kemudian muncul pemikiran bahwa berita-berita negatif itu suatu hal yang biasa dan dapat diterima sebagai sebuah kewajaran. Padahal bila direnungkan, semua perilaku tersebut adalah cerminan dari sebuah ‘bencana’ yang harus kita waspadai.
Bila akhir-akhir ini kita semua prihatin dengan rangkaian bencana yang melanda negeri ini, ternyata ada sebuah ‘bencana’ yang kita semua kadang tidak menyadarinya. Hal ini karena kita sering terbius pada hal-hal yang sifatnya kasat mata. Padahal bila dirunut ke akar-akarnya adanya bencana seperti tanah longsor, banjir, kebakaran, dan tsunami terdapat hubungan dengan ‘bencana’ yang telah lama kita alami tetapi tidak disadari. Bencana itu adalah hilangnya karakter bangsa.
Mungkin terlalu dini untuk mengatakan bahwa bangsa ini telah kehilangan karakternya, tetapi marilah kita tengok keadaan di sekitar kita. Memang masih banyak hal-hal yang dapat kita banggakan. Tetapi juga terlalu naif untuk mengatakan tidak ada masalah pada karakter bangsa ini. Untuk itu, artikel sederhana akan mencoba mengaitkan hilangnya karakter bangsa dengan dilupakannya pembelajaran sastra di sekolah-sekolah.

Pembelajaran Sastra Dulu dan Kini
Dalam pidato pengukuhannya sebagai Doktor Honoris Causa oleh Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Taufiq Ismail menyinyalir ada perubahan mendasar yang perjadi pada pembelajaran sastra masa dulu dan kini. Beliau mengatakan titik balik perubahan itu terjadi pada 1 Januari 1950 ketika bangsa Indonesia memiliki kewenangan penuh merumuskan kurikulum pendidikan. Perubahan mendasar itu berupa dihapuskannya bacaan-bacaan wajib bagi siswa.
Pada masa penjajahan Belanda, sekolah Hindia Belanda kala itu (AMS, MULO) mewajibkan siswanya membaca karya sastra. Tercatat ada kurang lebih dua puluh lima bacaan wajib yang harus diselesaikan dalam waktu tiga tahun. Apakah sistem pendidikan seperti ini yang menghasilkan tokoh-tokoh pendiri bangsa seperti Sukarno, Mohammad Hatta, Syahrir dan sebagainya ? Memang masih perlu dibuktikan. Tetapi bila menengok negara-negara yang sudah berhasil seperti Amerika Serikat dan Rusia, kita pantas mengakui bahwa ada peran bacaan sastra dalam pembentukan karakter seseorang.
Amerika sampai kini masih mewajibkan siswa-siswanya membaca karya sastra seperti karya-karya Ernest Hemingway. Demikian juga Rusia masih mempertahankan karya sastra seperti War and Peace karya Leo Tolstoy. Negeri tetangga Malaysia juga tidak ketinggalan. Siswa-siswa di Malaysia masih diwajibkan minimal enam karya sastra. Tidak ketinggalan pula Singapura dan Thailand.
Bagaimana dengan Indonesia ? Beberapa sekolah mungkin masih melaksanakan bacaan-bacaan wajib. Tetapi secara umum, siswa-siswa Indonesia hanya sekali, dua kali atau bahkan ada yang sama sekali belum pernah membaca karya sastra. Taufiq Ismail lebih menyukai istilah “bangsa yang rabun membaca dan pincang mengarang” untuk menggambarkan situasi pembelajaran sastra di Indonesia.
Secara lebih rinci, Taufiq Ismail menyebutkan setidaknya terdapat 35 permasalahan dalam pembelajaran sastra di Indonesia. Permasalahan itu di antaranya adalah merosotnya minat masyarakat secara umum untuk membaca karya sastra. Memang ada beberapa fakta yang dapat membantah pernyataan ini. Terbukti novel-novel seperti Laskar Pelangi atau Ayat-ayat Cinta laris di pasaran. Tetapi dapatkah kedua novel ini mewakili karya sastra secara keseluruhan ? Masih harus dibuktikan ketika novel-novel yang kental nilai sastranya dilepas ke masyarakat.
Permasalahan lain adalah peran media lain seperti media elektronik dalam mengenalkan sebuah karya sastra kepada masyarakat. Sekarang ini tak dapat dipungkiri, media elektronik telah menyita perhatian masyarakat sehingga media-media lain harus berusaha keras agar tidak tersingkir. Seharusnya keunggulan ini dimanfaatkan untuk mengenalkan karya-karya sastra melalui tayangan-tayangannya. Tetapi, hanya sedikit sinetron-sinetron yang diangkat dari karya sastra. Beberapa tahun lalu ditayangkan sinetron “Siti Nurbaya” yang sempat sukses. Tetapi setelah itu, sinetron di televisi lebih banyak dihiasi cerita-cerita yang lebih mementingkan nilai jual dari pada kualitas.
Masalah-masalah lain masih banyak tetapi pokok permasalahan dari semua persoalan itu terletak pada merosotnya wajib baca buku sastra, bimbingan mengarang dan pengajaran sastra di sekolah. Seperti sudah dikemukakan di atas, hilangnya kewajiban membaca karya sastra berbanding lurus dengan menurunnya kualitas karakter bangsa.
Kenyataan ini baru disadari akhir-akhir ini dengan digalakkannya kembali pendidikan karakter. Presiden SBY melalui pidatonya dalam rangka memperingati hari Pendidikan Nasional menyatakan keprihatinannya pada berbagai fenomena yang muncul di masyarakat seperti kekerasan, korupsi, kejahatan seksual dan sebagainya. Jalan keluar dari permasalahan ini adalah pendidikan karakter yang terintegrasi dengan kurikulum yang ada.
Saat inilah barangkali waktu yang tepat untuk merubah paradigma agar pembelajaran sastra di sekolah dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan karakter siswa.
Merubah Paradigma
Taufiq Ismail mengusulkan setidaknya enam perubahan paradigma agar pengajaran sastra dapat memenuhi fungsinya.
Yang pertama adalah merubah pendekatan dalam pengajaran agar siswa dibimbing memasuki sastra secara asyik dan gembira. Sastra bukan hal yang dipaksakan sebagai materi pelajaran yang harus dipahami. Sastra harus dikemas menjadi materi yang menyenangkan sehingga membuat siswa antusias dan merasa sebagai sesuatu yang diperlukan.
Perubahan paradigma yang kedua adalah menyajikan karya sastra bukan melalui ringkasan seperti yang selama ini dilakukan. Nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah karya sastra dapat dihayati jika karya tersebut dibaca secara utuh. Membaca sepotong-potong atau membaca ringkasan dan ulasan hanya membekali siswa dengan pengetahuan tentang karya tersebut. Hal ini belum sesuai dengan hakikat pembelajaran sastra yang menekankan kemampuan mengapresiasi. Memang mungkin saja ringkasan dan ulasan bermanfaat dalam kegiatan pembelajaran, tetapi itu bukan merupakan tujuan akhir pembelajaran sastra.
Perubahan berikutnya berkaitan dengan pembelajaran mengarang. Selama ini kegiatan mengarang masih merupakan hal yang ditakuti siswa. Sebagian besar siswa merasa terbebani ketika guru memberikan tugas berupa karangan baik yang bersifat fiksi maupun nonfiksi, baik berupa prosa maupun puisi. Memang ada beberapa siswa yang langsung antusias, tetapi dapat dihitung dengan sebelah jari. Untuk itu, pendekatan dan metode pembelajaran mengarang harus dirubah agar menyenangkan baik bagi siswa maupun guru. Caranya dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti : membawa siswa ke alam, menulis bersama, dan sebagainya.
Perubahan keempat berkaitan dengan penilaian dalam apresiasi. Banyak yang menyayangkan ketika soal-soal apresiasi sastra dibuat dalam bentuk pilihan ganda. Contoh yang sangat nyata adalah soal-soal Ujian Nasional. Dengan ditentukannya jawaban, siswa akan berpikir benar salah. Padahal karya sastra selalu dapat ditafsirkan berbeda. Perbedaan penafsiran harus dihargai dalam kegiatan apresiasi sastra. Dengan menghargai perbedaan siswa akan mendapatkan beberapa nilai seperti menghargai orang lain, demokrasi, berpikir logisdan sebagainya. Oleh karena itu, sebaiknya soal-soal UN dipertimbangkan kembali agar dapat mengukur kemampuan apresiasi.
Bila selama ini pembelajaran sastra lebih mengutamakan pengetahuan tentang sastra seperti teori dan sejarah sastra, sekarang paradigma itu harus dirubah. Pengetahuan tentang sastra dilakukan secara sambil lalu sebagai informasi sekunder. Sastra bukan pengetahuan yang harus dihafalkan. Sastra harus dinikmati sebagai sebuah karya seni seperti lagu-lagu dan lukisan.
Perubahan terakhir berkaitan dengan fungsi karya sastra itu sendiri. Pembelajaran sastra harus mampu menyemaikan nilai-nilai positif pada batin siswa. Inilah yang disebut dengan pembangunan karakter. Bila pelajaran eksakta mengutamakan pengembagan intelektual yang berpusat pada otak, pembelajaran sastra mengutamakan pengembangan nilai-nilai dalam jiwa siswa. Banyak sekali nilai yang dapat ditanamkan pada diri siswa melalui karya sastra. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh pelajaran lain. Untuk itulah, sudah seharusnya pembelajaran sastra menggunakan karya sastra sebagai materi utamanya bukan ulasan, ringkasan, resensi atau yang lainnya.
Sekaranglah Saatnya
Momen digalakkannya kembali pendidikan karakter menjadi pemicu yang tepat untuk diadakannya kembali kewajiban membaca karya sastra di sekolah-sekolah. Tanpa itu, pendidikan karakter seperti halnya benih yang dibiarkan kerontang. Karya sastra dapat menjadi setetes embun yang membasahi pucuk daun yang mulai bersemi. Atau juga, tetes-tetes gerimis yang menyuburkan akar-akar karakter yang dapat menjaga kebesaran bangsa agar selalu tegar berdiri walau angin badai meniup kencang. Semoga !(Bambang)

Kamis, 11 Maret 2010

TRANSFORMASI TRADISI

Mengapa muncul cerita Dewi Sri ? Dewi Padi yang mulai dilupakan generasi kini ternyata menyimpan hikmah yang apabila kita renungi merupakan bentuk kecerdasan nenek moyang. Agar ingat kembali, berikut akan diceritakan kembali dongeng yang sempat sangat terkenal itu.
Suatu hari Sanghayang Guru menitahkan semua dewa di kahyangan untuk membawa sebongkah batu sebagai material pembangunan kahyangan. Seorang Dewa tak mampu melaksanakan titah Sanghayang Guru karena keterbatasan fisik. Dialah Dewa Anta yang ditakdirkan berbentuk seekor ular.
Dengan muka sedih Dewa Anta menghadap Batara Narada. Diceritakanlah ketidakmampuannya melaksanakan titah Sanghyang Guru. Begitu menyedihkan keluh kesah Dewa Anta, sampai dari matanya menetes tiga butir air mata. Berkat kesaktiannya, air mata itu menjelma menjadi tiga buah telur. Atas saran Batara Narada, Dewa Anta membawa tiga butir telur itu hendak dipersembahkan kepada Sanghayang Guru.
Dalam perjalanan menuju kahyangan, seekor elang yang tidak tahu permasalahan Dewa Anta menanyakan tujuan Dewa Anta ke kayangan.
" Hendak kemana kau Anta " Dewa Anta tak bisa menjawab karena dalam mulutnya tersimpan tiga butir telur. Begitulah pertanyaan diulang hingga tiga kali. Marahlah elang karena Dewa Anta tak mau menjawab. Disambarlah, telur di mulut Dewa Anta, hingga tertinggal hanya satu butir.
Batara Guru menerima persembahan Dewa Anta dengan senang hati. Meskipun, Dewa Anta hanya memberinya sebuah telur, tetapi itu wujud dari kepatuhannya. Disuruhnya, dewa Anta mengerami telur tersebut. Selang beberapa waktu, menetaslah telur itu. Keluarlah seorang bayi mungil perempuan. Oleh Sang Hyang Guru, bayi itu deiberi nama Dewi Sri.
Tumbuhlah Dewi Sri menjadi gadis yang cantik jelita. Batara Narada melihat sebuah kejanggalan pada tingkah laku Sang Hayng Guru ketika melihat kecantikan Dewi Sri. Kemudian, Batara Narada mencari akal. Diberinya Dewi Sri buah dari surga. Dewi Sri makan buah tersebut. Dan setelah itu, Dewi Sri tak mau makan kecuali buah itu. Lama kelamaan, tubuh Dewi Sri melemah karena tidak mau makan yang lain. Akhirnya, meninggallah Dewi Sri.
Dikuburnya mayat Dewi Sri. Tak berapalama, di atas kuburan Dewi Sri tumbuhlah beraneka tumbuhan. Dari bagian kepalanya tumbuh pohon kelapa. Dari bagian tangannya tumbuh batang padi. dari bagian pinggulnya tumbuh pohon aren (nira). Dari kakinya tumbuh pohon bambu.
Berlanjut.....

Selasa, 09 Maret 2010

MENJADI GURU YANG BERMISI

Tulisan ini merupakan pendapat yang muncul dari endapan pemikiran selama satu setengah semester berinteraksi dengan guru-guru besar di SPS UPI. Tentu saja bukan tidak mungkin, pemikiran ini keliru atau salah persepsi, tetapi sebagai sebuah pendapat tidak ada salahnya untuk didiskusikan bersama.
Selama kurun waktu 8 bulan ada sebuah pemikiran yang mungkin berbeda dari mahasiswa yang satu dengan yang lain. Pemikiran itu adalah ternyata para guru besar yang terhormat itu berusaha menanamkan sebuah prinsip yang selama ini mereka yakini menjadi kunci sebuah keberhasilan.
Salah seorang guru besar selalu tampil dalam kesederhanaan baik dalam pola pikir maupun dalam penampilan fisik. Tidak jarang pula, beliau menunjukkan pengakuan bahwa penjelasan yang baru disampaikan ternyata tidak sesuai dengan buku-buku yang pernah dibacanya. Lalu dibukanya sebuah buku catatan yang sangat rapi. Disampaikannya kembali teori tersebut dengan teliti. Diajaknya mahasiswa mengkritisi teori tersebut. Apabila ternyata, teori tersebut kurang tepat, akan disampaikan alasan-alasan yang masuk akal sehingga pantas kalau teori tersebut perlu direvisi. Beliau mempunyai misi : kesedehanaan, ketelitian dan keberanian bersikap kritis.
Dosen yang lain sering mengungkapkan pemikiran-pemikiran yang berbeda. Pernah diungkapkan oleh Beliau, bahwa teori perkembangan Jean Piaget perlu direvisi apabila dikaitkan dengan perkembangan psikologis orang Indonesia. Alasannya cukup rasional apabila dikaitkan dengan fenomena yang ada seperti mahasiswa dan politisi yang suka tawuran. Teori yang sudah bertahan berratus tahun itu masihkah relevan hingga kini ? Begitu beliau mengajak mahasiswa berpikir inovatif. Di saat lain, Beliau memunculkan istilah yang sama sekali baru bagi kami, yaitu tata bahasa paedagogis. Tujuannya agar dalam pembelajaran bahasa Indonesia, tata bahasa tidak dilupakan sama sekali. Disinyalir para guru bahasa Indonesia, telah menghilangkan pembelajaran tata bahasa dengan dalih tidak dituntut oleh kurikulum. Beliau mempunyai misi : inovatif.
Guru besar yang lain senantiasa berpenampilan rapi. Apabila berjalan, nyata sekali sebuah keyakinan bahwa kebudayaan bangsa Indonesia merupakan kebanggaan yang harus selalu dijaga. Begitulah nilai-nilai yang selalu disampaikan kepada para mahasiswa. Hampir di setiap akhir perkuliahan, para mahasiswa diyakinkan pada sebuah kebanggaan bahwa bangsa Indonesia tidak kalah dari bangsa lain. Saudara boleh menjadi orang sukses di mana pun jua, tetapi tetaplah saudara menjadi orang Indonesia. Kecintaan dan kebanggaan terhadap bangsa Indonesia selalu menjadi prinsip Beliau. Semua itu diwujudkan dalam karya-karyanya. Beliau mempunyai misi : kebanggaan dan kecintaan terhadap bangsa Indonesia (nasionalisme).
Kunci utama keberhasilan pendidikan bagi seorang guru adalah kewibawaan. Banyak hal dapat dilakukan guru untuk memperoleh kewibawaan. Beliau menyebutnya alat kewibawaan. Ada guru yang menggunakan media pembelajaran. Tidak sedikit pula yang menggunakan alat berupa kekerasan. Tetapi kewibawaan yang sebenarnya akan muncul dari sebuah keikhlasan. Dengan ikhlas sorang guru akan melakukan segala sesuatu dengan sungguh-sungguh. Kesungguhan yang konsisten itulah yang akan menghasilkan wibawa. Misi beliau adalah : kewibawaan dan keikhlasan.
Sebuah generalisasi dari beberapa ilustrasi di atas adalah setiap guru memiliki misi. Misi itu lahir dari pengalaman-pengalaman hidup yang kemudian mengkristal menjadi prinsip hidup. Pengalaman hidup setiap manusia selalu berbeda, maka dari itu prinsip hidup yang diyakini pun berbeda. Selanjutnya, misi itupun dikemas menjadi roh dari materi pelajaran yang disampaikan. Dapat dibayangkan apabila di sebuah sekolah terdapat sepuluh sampai lima belas guru, maka misi atau prinsip hidup yang dapat menjadi pilihan siswa untuk diadopsi menjadi prinsip hidupnya. Dengan begitu, siswa akan menjadi kaya dengan teladan-teladan yang dapat menjadi bekal masa depannya.
Salah seorang guru mempunyai prinsip kedisiplinan. Sementara yang lain meyakini kasih sayang sebagai prinsip hidupnya. Secara sepintas seperti berlawanan, tetapi sejatinya kedua prinsip tersebut dapat dipadukan. Bolehlah diibaratkan apabila kita ingin membuat sebuah resep makanan. Buah cabai yang pedas, garam yang asin dan gula yang manis, apabila diramu akan menghasilkan sebuahsambal yang nikmat. Demikian juga, prinsip kehidupan guru akan mewarnai pengalaman hidup siswa. Kuncinya kita meyakini sebuah prinsip dan berusaha menanamkan prinsip tersebut melalui misi dalam pembelajaran kita.(Bambang S)

GETARAN EMOSIONAL : MENUJU PEMBELAJARAN YANG BERMAKNA

Sebuah jargon guru yang sudah sangat akrab di telinga adalah tugas kita bukan mengajar tetapi mendidik. Tugas kita bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi lebih ke arah membangun kepribadian (character building). Jika dalam mengajar, factor utama yang harus kita kuasai adalah materi pelajaran dan hal-hal yang berkaitan dengan strategi penyampaian materi pelajaran seperti metode, media dan sebagainya. Dalam mendidik, factor-faktor yang harus kita kuasai lebih luas lagi.
Agar pemahaman kita tentang mendidik lebih jelas lagi, kita coba kaji ilustrasi hirarki pengetahuan sebagai berikut.
Untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, seseorang harus melewati 6 tingkatan. Pada level paling bawah terdapat sebuah data. Data hanya akan menjadi data apabila kita tidak membutuhkannya. Terhadap data yang dikehendaki, kita dapat mengolahnya menjadi sebuah informasi (information) yang bermanfaat (level 2). Selanjutnya, beberapa informasi itu dapat dirangkaikan menjadi sebuah pengetahuan (knowledge) yang memudahkan kita memutuskan sebuah masalah (level 3). Tingkat berikutnya adalah pembangunan kecerdasan (intelligent) yang dibuktikan dengan pengambilan keputusan yang benar (level 4). Hirarki paling tinggi berupa kearifan (wisdom) seseorang yaitu ketika orang tersebut mampu menyelaraskan tindakannya dengan nilai-nilai yang berlaku.
Berdasarkan hirarki di atas dapat dilihat bahwa tujuan kegiatan mendidik tidak hanya berhenti pada level 3 (knowledge) atau level 4 (intelligent) karena pada level tersebut masih berada dalam ranah pengetahuan (kognitif). Jika proses pendidikan berhenti pada level itu, berarti kita masih berstatus sebagai “pengajar” yang hanya mentransfer pengetahuan. Kita harus mencapai level tertinggi yang menghasilkan kearifan (wisdom) yang berada pada ranah sikap (afektif).
Sebuah kata bijak dari Herbert Spencer berbunyi “The great aim of education is not knowledge but action “. Jika kita terpaku hanya pada tujuan menghasilkan siswa yang cerdas dalam pengetahuan, kita hanya membekali siswa sebuah ‘badan’ tanpa ‘roh’, sehingga bukan tidak mungkin siswa akan bersikap dan berperilaku yang tidak sesuai dengan pengetahuan yang dikuasainya. Kita semua tahu korupsi itu sebuah tindak kejahatan, tetapi mengapa Negara kita selalu bercokol di papan atas liga korupsi dunia ?
Barangkali salah satu jawabannya ada pada proses pendidikan kita. Terlalu sering kita berpuas diri apabila siswa kita mencapai sebuah KD yang kita ajarkan. Tanpa menyadari bahwa sebenarnya KD tersebut dapat disalahgunakan oleh siswa. Untuk itu, kita memberikan makna mulia yang terkandung dalam sebuah materi pelajaran. Caranya adalah dengan melakukan sentuhan-sentuhan emosional atau getaran emosional (emotional thrill) agar nilai-nilai mulia dalam materi tersebut tertanam dalam hati siswa.
Contoh sederhana jika kita ingin membelajarkan siswa tentang korupsi. Sisi emosional yang dapat digetarkan adalah kesadaran tentang bahaya korupsi bagi dirinya dan orang lain. Siswa dapat dibawa untuk melihat kemiskinan yang diderita rakyat banyak untuk menunjukkan bahayanya korupsi. Dengan menyentuh sisi emosional dalam diri siswa akan terbangung sebuah pola pikir bahwa korupsi merupakan kejahatan yang sangat biadab. Bandingkan misalnya siswa hanya dijejali pengetahuan tentang pengertian korupsi dan bahayanya. Dalam diri siswa hanya tertanam sebuah pengetahuan tanpa sebuah kesadaran.
Banyak cara yang dapat digunakan untuk menggetarkan emosi siswa. Tentunya rekan-rekan semua mempunyai pengalaman. Ini salah satu poin yang disampaikan Prof. Dr. Yoyo Mulyana dalam perkuliahan. Ide dan saran teman semua, akan sangat bermanfaat.(Bambang)